PENDIDIKAN


PERBEDAAN KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DENGAN KONSEP PENDIDIKAN SEKULER

Pemahaman tentang pendidikan menurut Islam sebagaimana yang telah dijelaskan memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat mencolok dengan system pendidikan sekuler. Jika dalam Islam pendidikan harus meliputi tiga aspek: Iman, Islam dan Ikhsan. Maka dalam pandangan Sekuler semua aspek itu tidak perlu selalu diidentikkan. Dalam pendidikan Sekuler juga lebih ditekankan pada rasionalitas semata. Pendidikan Sekuler berawal dari pandangan Filsafat Ilmu. Dan melahirkan peserta didik yang matrealisme.

Dalam konsep pendidikan Sekuler, menjadi ajang pertarungan ideologis dimana apa yang menjadi tujuan pendidikan –secara tidak langsung merupakan tujuan hidup – berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain. Di sinilah perbedaan pendapat para filosof Barat dalam menetapkan tujuan hidup. Orang-orang Sparta salah satu kerajaan Yunani lama dahulu berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk berbakti kepada negara, untuk memperkuat negara. Dan pengertian kuat menurut orang-orang Sparta adalah kekuatan fisik. Oleh sebab itu tujuan pendidikan Sparta adalah sejajar dengan tujuan hidup mereka, yaitu memperkuat, memperindah dan mempertegus jasmani.
Karakteristik perbedaan antara pendidikan Islam dan Barat. Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, dalam Islam pendidikan memiliki karakteristik, yaitu pertama, Penguasaan Ilmu Pengetahuan. Ajaran dasar Islam mewajibkan mencari ilmu pengetahuan bagi setiap Muslim dan muslimat.
Dalam konsep pendidikan Sekuler, ilmu tidak lahir dari pandangan hidup agama tertentu dan diklaim sebagai sesuatu yang bebas nilai. Namun sebenarnya tidak benar-benar bebas nilai tapi hanya bebas dari nilai-nilai-nilai keagamaan dan ketuhanan. Menurut Naquib al-Attas, ilmu dalam peradaban Barat tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan serta nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah . Sehingga dari cara pandang yang seperti inilah pada akhirnya akan melahirkan ilmu-ilmu sekular.
Dewasa ini, pendidikan Islam setidaknya menghadapi empat tantangan pokok. Pertama, konformisme kurikulum dan sumber daya manusia; kedua, implikasi perubahan sosial politik; ketiga, perubahan orientasi; dan keempat, globalisasi. Semua tantangan pendidikan Islam tersebut terkait satu sama lain.
Konformisme atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada, merupakan tantangan pendidikan di manapun. Konformisme adalah musuh utama kreatifitas. Padahal, kreatifitas sangat dibutuhkan untuk terus memperbarui keadaan pendidikan. Jepang yang dikenal dengan sistem pendidikan yang ketat justru sejak 1980-an meninjau ulang pendidikan mereka yang dianggap terjebak konformitas. Kreatifitas yang merupakan “roh” pendidikan dinilai sudah lama tercerabut sehingga hal itu sangat mengkhawatirkan pemerintah Jepang.
Pendidikan Islam yang sudah “tertinggal” (dibandingkan pendidikan yang berorientasi sekuler) malah juga terjebak pada konformisme. Ini tentu suatu kondisi yang lebih paradoks. Konformisme biasanya terjadi pada suatu kondisi yang sudah mapan (established), akan tetapi hal ini justru terjadi pada konteks pendidikan Islam yang bergerak lamban. Bisa dibayangkan, implikasi lebih lanjut dari konformisme pendidikan Islam.
Kurikulum yang kini dijalankan di lembaga pendidikan Islam, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah, masih banyak menggunakan model lama. Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan, sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya yang kontekstual dengan perkembangan sosial. Sekalipun di lembaga tertentu ada pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial. Secara keseluruhan kurikulum pendidikan Islam masih konservatif.
Implikasinya sangat serius ketika para lulusannya (SDM) menghadapi perubahan di luar dunia pendidikan mereka. Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang mereka pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar-mengajar tadi. Pluralitas sosial dan kemanusiaan di tengah masyarakat membuat mereka gagap. Indonesia yang mereka diami rupanya sebuah entitas yang berwarna. Kebangsaan ini rupanya tak bisa dilihat secara monolitik, misal dari sudut pandang umat Islam saja. Di sisi lain, kelompok sosial yang merupakan produk pendidikan sekuler, dan mereka umumnya non-muslim, justru lebih adaptif, responsif, serta menguasai tren iptek.
Perubahan sosial politik ikut memberi ‘warna’ pendidikan Islam. Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut mempengaruhi persepsi publik terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam konteks perubabahn sosial politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap dijadikan “kendaraan” oleh para petualang politik mencari dukungan. Setelah dukungan suara didapatkan, kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap tidak banyak berubah. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama.
Visi pendidikan Islam akhirnya sulit berubah dari lembaga yang hanya mendidik para calon ulama, dalam konotasinya yang ortodoks. Paradoks lainnya berkaitan dengan stigma baru yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama. Dewasa ini lembaga pendidikan Islam mendapat citra baru, yakni mengajarkan radikalisme. Padahal kalau diperiksa tidak semua pesantren mengajarkan pendidikan dengan orientasi yang mengarahkan peserta didik berbuat radikal. Islam agama damai dan menyejukkan (hanif) mesti tetap menjadi pesan pokok pengajaran mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai perguruan tinggi. Radikalisme dalam pengajaran biasanya memunculkan radikalisme dalam tindakan.
Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) keagamaan haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen.
Sayangnya lembaga pendidikan Islam terlalu lambat menyadari ketertinggalan ini. Tokoh pendidikan kita terlalu berpikir konservatif dan masih terjebak pada dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Padahal dikotomi itu justru mematikan kreatifitas. Untunglah dalam batas tertentu sebagian kecil yang berlatar pendidikan “sekuler” relatif lebih cepat menyadari kejumudan. Tidak heran, dewasa ini di perguruan tinggi umum diajarkan pula ekonomi Islam, sosiologi agama (Islam), psikologi Islam, antropologi agama (Islam) dan lainnya. Pendidikan sekuler ialah pendidikan yang tidak memperhatikan ilmu dienul Islam atau tidak berasaskan Islam.
Adapun bahayanya banyak sekali, bahaya pengajarnya, materinya, dan pergaulannya. Pada umumnya pengajarnya tidak mengenal aqidah yang benar, atau bodoh terhadap ajaran Islam, dan boleh jadi mereka orang kafir atau musyrik atau orang yang memusuhi Islam, itu semua karena latar belakang pendidikan mereka sebelumnya.
Boleh jadi materi yang diajarkan termasuk perkara yang dilarang menurut ajaran Islam karena berkenaan dengan aqidah dan akhlak, atau membahayakan jasmani dan rohaninya. Maka siswa yang tidak mengenal ajaran Islam yang kaffah tentu sulit untuk menghukumi materi itu boleh dipelajari atau tidak. Biasanya, pendidikan umum tidak memperhatikan pergaulan siswa dan siswinya, mereka bercampur menjadi satu tanpa ada hijab (pembatas,-red) yang menghalanginya, bahkan pengajarnya campur laki-laki dan wanita. Padahal melihat wanita yang bukan mahramnya hukumnya haram (lihat surat An-Nur : 30-31), apalagi bergaul bebas bertatap muka, sentuh-menyentuh, berkhalwat, dan bepergian tanpa mahram. Tentu dosanya lebih besar daripada manfaat ilmu yang diperolehnya.
Adapun bahaya lain, mereka akan meninggalkan menuntut ilmu dienul Islam dan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla karena mereka sibuk dengan ilmu duniawinya. Bahkan, boleh jadi akan memerangi Islam dan ulamanya. Sebagaimana halnya dengan ideologi-ideologi yang lain, ideologi sekuler memiliki pemikiran dan metode untuk semua aspek kehidupan manusia, termasuk dalam sistem pendidikan. Ideologi sekuler-kapitalisme juga menjadikan sistem pendidikan sebagai salah satu sarana untuk mentransfer pemikiran-pemikiran mereka ke masyarakat dan mencetak para pengemban-pengemban baru ideologi ini.
Bahkan lebih dari itu, bila dilihat dari sejarah awal ideologi ini, akan terlihat pentingnya peranan dunia pendidikan bagi ideologi sekuler-kapitalisme. Pemikiran-pemikiran awal ideologi sekuler muncul dalam benak kaum pemikir dan intelektual abad pertengahan Eropa. Penindasan dan pengekangan pemikiran yang dilakukan institusi gereja di abad pertengahan menyebakan lahirnya pemikiran-pemikiran tandingan dari kaum intelektual Eropa yang berupa konsep kebebasan.
Perkembangan di Eropa, sebagai akibat kuatnya kaum menengah dan kaum intelektual, kemudian melahirkan revolusi industri, yang memunculkan kelompok berkuasa yang baru, yaitu para pemilik modal dan para pengusaha. Semenjak itulah, ideologi sekulerisme menjadi lebih dominan pada sektor ekonominya, dan lebih sering disebut sebagai ideologi kapitalisme. Walaupun begitu, peran penting para cendekiawan dan intelektual masih sangat kuat, karena mereka menjadi motor penggerak pemikiran-pemikiran ideologi ini, serta menjadi penjaga bagi keberlangsungan ideologi ini.
Sinergi antara para intelektual dan para pemilik modal, menjadi bentuk sinergi baru mirip seperti sinergi para gerejawan dan raja sebelumnya. Para intelektual merupakan ujung tombak dalam perang pemikiran yang dikobarkan ideologi ini dalam menghadapi pemikiran-pemikiran ideologi lawan, seperti ketika akan menjajah suatu negara yang mungkin di dalamnya terdapat suatu ideologi baik diemban oleh negara tersebut ataupun diemban oleh sebagian masyarakatnya, ataupun ketika berusaha mendominasi percaturan politik dunia.
Bentuk pendanaan oleh negara dalam dunia pendidikan ternyata bervariasi antara satu negara barat dengan negara yang lainnya. Negara seperti Jerman dan Austria, yang menerapkan sosialisme negara, mendanai seluruh sistem pendidikannya, dari tingkat rendah sampai perguruan tinggi. Sedangkan negara seperti USA, mendanani hampir keseluruhan pendidikan rendah sampai menengah, dan sebagian pendidikan tinggi. Jadi bukanlah tabu bagi negara, dalam ideologi kapitalisme, untuk ikut mendanai biaya pendidikan. Untuk menjaga kebebasan berpendapat/berkespresi, maka peran dan campur tangan negara dalam masalah sistem pendidikan, harus sangat minimal, terutama dari segi kurikulum.
Sebab bila tidak dikhawatirkan akan membatasi berkembangnya pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat tertentu, lalu pemikiran dan pendapat yang sejalan dengan pemerintahlah yang akan dikembangkan, baik dalam dunia akademik, maupun di masyarakat. Untuk menjaga kebebasan berpendapat/berekspresi ini, maka institusi pendidikan haruslah semaksimal mungkin, mandiri dan otonom, dalam pendanaan maupun dalam pembuatan kurikulum/materi ajar.             Sehingga terkadang di suatu negera bentuk sistem pendidikannya tidaklah terstruktur rapi di bawah kendali negara. Seperti misalnya di USA, sistem pendidikan yang terstruktur tidak tampak dalam level pemerintah federal, tetapi hanya ada pada level pemerintah negara bagian, maupun pemerintahan lokal (distrik atau kota). Banyak badan-badan sertifikasi sekolah maupun sertifikasi guru yang tidak terkait langsung dengan struktur pemerintah.
Penanaman ideologi sekuler-kapitalisme kebanyakan tidak dilakukan secara langsung melalui kurikulum tetapi melalui materi pendidikan lewat para pendidik maupun lewat pendapat-pendapat para cendekiawan mereka yang mengembangkan pemikiran-pemikiran ini, kepada para peserta didik, khususnya di tingkat menegah ke atas, maupun ke masyarakat umum melalui media massa. Cara yang paling sering dipakai dalam dunia pendidikan adalah fakta sejarah bangsa Barat, ketika di masa penindasan gereja dibandingkan dengan masa reinaissance.
Untuk menjaga kebebasan kepemilikan, maka siapa saja, berhak dan boleh membuat institusi pendidikan, termasuk pemerintah, dan juga kalangan agamawan. Juga dibolehkan untuk menjadikan institusi pendidikan itu sebagai suatu lembaga profit, ataupun lembaga untuk mengkader orang-orang dengan pola agama tertentu. Tetapi bila dilakukan oleh negara, maka untuk menjaga kebebasan beragama/berkeyakinan, maka institusi tersebut tidak boleh mengajarkan pemikiran-pemikiran khusus agama tertentu, kecuali sebatas sebagai ilmu. Tidak boleh juga dalam institusi milik negara tadi adanya segala sesuatu yang bisa membuat institusi tersebut condong pada suatu kelompok dalam masyarakat, ataupun memusuhi suatu kelompok dalam masyarakat.
Untuk menjamin keadilan dalam kebebasan kepemilikan, dalam hal dana-dana dari pemerintah untuk dunia pendidikan, termasuk dana untuk riset penelitian, tidak boleh memprioritaskan berdasarkan kepemilikan. Artinya, suatu institusi pendidikan milik pemerintah maupun milik non pemerintah memiliki hak dan kesempatan yang sama terhadap dana-dana pendidikan dan riset tadi. Termasuk juga dalam masalah kebebasan kepemilikan, institusi pendidikan bebas dalam mencari sumber-sumber dananya sendiri, baik dari masyarakat maupun dari pihak luar bahkan asing.
Pemikiran-pemikiran ideologi sekuler-kapitalisme didasarkan pada ide dasar pemisahan agama dari kehidupan, sehingga kehidupan pun kemudian diatur berdasarkan pada pemikiran manusia. Dalam hal pengaturan kehidupan yang menjadi asasnya adalah asas manfaat sedangkan tujuannya adalah mencapai kebahagian/kesejahteraan material semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuannya, terdapat beberapa konsep-konsep yang hendak diwujudkan dan dijaga, demi tetap terjaganya sekulerisme.
Pemikiran ideologi sekuler kapitalisme dalam sistem pendidikan berlandaskan pada konsep-konsep serta asas-asas di atas. Dunia pendidikan difungsikan sebagai penopang bagi mesin industri kapitalisme, sehingga tujuan dari pendidikan dalam ideologi ini adalah untuk mencetak individu-individu yang profesional yang dapat mendukung keberlangsungan industri-industri mereka, intinya adalah mencetak para pekerja yang baik. Karena itu terkadang negara diharuskan ikut mendukung bahkan mungkin juga total mendanai masalah pendidikan. Hal ini karena pendidikan dipandang sebagai investasi, dan dengan menggunakan negara maka biaya investasi untuk mencetak pekerja-pekerja yang tangguh bagi mesin industri kapitalis, akhirnya ditanggung oleh masyarakat melalui pajak.





Tidak ada komentar: